2.
Pendapat beberapa tokoh mengenai hubungan antara Negara dengan hukum. Menurut
pendapat anda bagaimanakah seharusnya hubungan Negara dengan hukum ?
Negara adalah
suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat
pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat
unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta
pengakuan dari negara lain.
Hukum
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi
dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,
hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur
persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela.”
Hubungan antara Negara dan Hukum :
Hukum dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, dalam hal ini adalah negara. Hukum disetiap negara berbeda berdasarkan budaya dan agama masing-masing negara. Hubungan antara negara dan hukum adalah bahwa Hukum bersifat mengikat, negara pun terikat oleh hukum, ada hukum nasional, internasional dll. Negara dalam hal ini pemerintah, membutuhkan hukum untuk mengatur rakyatnya, dan hukum harus adil, tidak memihak. Hukum sangat erat kaitannya dengan negara, setiap negara biasanya memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai aturan yang telat dibuat oleh negara tersebut.
Hukum dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, dalam hal ini adalah negara. Hukum disetiap negara berbeda berdasarkan budaya dan agama masing-masing negara. Hubungan antara negara dan hukum adalah bahwa Hukum bersifat mengikat, negara pun terikat oleh hukum, ada hukum nasional, internasional dll. Negara dalam hal ini pemerintah, membutuhkan hukum untuk mengatur rakyatnya, dan hukum harus adil, tidak memihak. Hukum sangat erat kaitannya dengan negara, setiap negara biasanya memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai aturan yang telat dibuat oleh negara tersebut.
Pendapat beberapa tokoh mengenai
negara dan hukum :
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.